Monolog: Tentang Senja

Apa ada yang lebih menggembirakan hati selain sore di kereta? Memandang hamparan luas berganti dengan hanya satu latar langit menguning, senja.

Ah, senja. Saya suka menulis tentang dia.

Senja tidak seperti siang yang hangat namun teriknya membakar kulit. Senja juga tidak seperti pagi penuh semarak kicau burung yang dinginnya menggigit. Senja jelas berbeda dengan malam berkerlip bintang tapi gelapnya membawa cemas.

Ibarat manusia, senja adalah kekasih lama yang padanya saya titipkan cinta pertama dan selalu memanggil rindu. Bertemu dengan senja layaknya bertemu sahabat karib, hati menjadi hangat sekaligus gembira. Namun dalam jingganya, selalu ada pedih yang sama ketika kamu melihat dia yang tidak memilihmu. Senja selalu juga mengingatkan saya pada keluarga dekat, karena kemana pun saya pergi, selalu ia yang saya cari untuk kembali.

Senja menuliskan padamu sebuah roman tentang kamu yang sedang berdua di motor pacarmu sepulang kerja. Senja memutarkan lagu melankolis ketika kamu duduk sendiri dalam bis yang berjalan tanpa playlist. Senja menceritakan padamu kisah-kisah menegangkan di balik muka cerah mereka yang bersantai di bawah Jembatan Merah.

Pada saya, senja menjadi pintu pertemuan kita 4 tahun lalu. Namun seperti yang kau tahu sayang, senja selalu diikuti malam. Seperti kau dan saya yang tak pernah bertemu pagi, tersesat gelap.

Ah, senja. Mengapa dia selalu dapat mengantar saya pada rasa?

note: terpikir di kereta sore sepulang dari Jogja

Advertisement