Menjadi Perempuan

Menjadi perempuan bukan hanya soal dilahirkan berjenis kelamin perempuan tapi juga harus siap dengan ikat sosial yang melilit sedari kecil. Rambut yang sebaiknya terurai panjang dan tersisir rapi, duduk manis, dan suguhkan senyum memikat. Berpakaian bukan hanya sekedar memakai baju tetapi memakai baju yang menarik hati para tamu yang akan memuji betapa manisnya anak ibu. Tolong jangan melucu, percuma karena tawa lepas terbahak akan jadi lirikkan orang dan tidak pantas.

Menjadi perempuan sedikit bedanya dengan barang karena ada harga yang harus dijaga dan tidak boleh hilang. Di usia 20an, nilainya sedang tinggi karena apapun yang ada dalam dirinya alam kondisi terbaik, terutama sistem reproduksi. Terlepas dari semua mimpi pribadi seolah hanya itu tujuan hidupnya. Memasuki usia 30an, kesegaran sudah menurun. Terima saja rasa simpati dan niat para tante menjodohkannya dengan siapapun atau apapun. 40an sama dengan dengan cap perawan tua. Kesuksesan hidup lainnya tidak berarti.

Menjadi perempuan harus pintar-pintar berpacu dengan jam biologis tubuh yang terus melaju. Hal yang juga menentukan “kesempurnaan” perempuan di mata masyarakat. Pada akhirnya percuma mengejar apapun karena kamu tidak sempurna kalau belum menjadi istri dan ibu. Dan bahkan masih bisa dipersalahkan ketika sudah menjadi keduanya.

Menjadi perempuan adalah menjadi kepemilikan.

Menjadi perempuan adalah perjuangan mengesampingkan prasangka tentang pulang larut malam, delik tak nyaman, dan omongan pedas dari setiap keputusan yang tidak sejalan dengan kebanyakan orang.

Menjadi perempuan harus tangguh rasa dan hati menerima siulan nakal, panggilan akrab atau godaan sayang lelaki jalanan dan budaya yang menganggap ini wajar.

Menjadi perempuan bisa jadi serba salah. Mandiri dan cerdas bisa berarti sulit diatur. Agresif dibilang murahan, sedangkan pasif dibilang jual mahal.

Menjadi perempuan harus tahu diri, tahu dapur, tahu lelaki asal jangan terlalu banyak tahu karena akan dianggap sok tahu.

Menjadi perempuan kadang kala berarti bersaing dengan perempuan lainnya. Untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang ter-perempuan.

Rasanya sulit menjadi manusia dan menjadi diri sendiri ketika kamu seorang perempuan.

Advertisement

On the Reason of Not Getting Married and Do

Image

pic here

Don’t get married because social structure pressures you to have one or you’ll be judged on being a spinster. Be brave to not give a fuck on people’s judgments, because no society will ever sponsor your wedding dream anyway.

Don’t get married because your mom thinks this is the right time. Nope. No such a thing as the right time, every time can be the right time when you decide it is.

Don’t get married because your friends and everyone else are getting married. You open the chance of making new friends and there are people who stay single forever and ever, amen. You are never alone.

Don’t get married because of the possibilities of having a fruitful and faithful marriage. Well, cheat, divorce and death will also be there at the same time.

Don’t get married because someone tells you that marriage will guarantee happiness. Like, is there such a thing? Though “you’re the one who’s responsible for your happiness” sounds cliché as hell, it is true.

Don’t get married because marriage is just another step in your life. No, the choices are many.

Don’t get married because of the idea that marriage equals to happily ever after. Nothing lasts forever.

Don’t get married due to the delusion and illusion that everything will get better with someone beside you, because life can also get worse with someone beside you.

Don’t get married because of all the romanticizing of love pop culture creates.

Heck, don’t even get married because there’s someone kneeling in front of you with a ring.

Go get married because you’re being honest to yourself that you need to get married. Because you want to spend the rest of your life with this person, but at the same time you also know that he/she’s not the only one who builds you happiness. Go pursue someone who’s not only the right person for you, but also for your long time plans and goals in life.

Get married due to the fact that it is a long time process of bonding, and no matter what will happen in the future both of you will be brave enough to solve it together. Not just sign up for the honeymoon and wedding champagne.

Get married because you’re ready for the adventure of fresh sweet smell of young skins as well as the uninteresting wrinkles of aging.

Get married in the realization of love can set you free, and only love can break your heart.

Pointless Meaningless Long Post

Thing that no one tells you when you graduate is that this time nothing is certain. Graduation doesn’t owe you brilliant job and stable income. You don’t know will you ever going to get your first job or the better one later. You don’t know when you’re going to meet the man your mom always asks to bring home. You don’t know will you ever going to make enough money. You don’t know are you going to ever ‘make it’ whatever it means.

A year ago I wrote about my graduation and how grateful I am with the job I (still) have. I thought at some point that I’m in the right track in doing what I want to do, be the person I want to be. I thought I’m just going to do my job on my way to that place I really want. But the fact that I failed miserably on every chance I get to the path I really want and suddenly it’s a year later and I’m still doing the same job and not sure anymore. I hate uncertainty so much and I want to give up.

One crappy night when i just got back from work, I looked at my bedroom wall where I put a quote, “Too young to surrender” that I wrote last year, too (I have the tendency to forget motivational words I wrote myself, so useless anyway I know) and pffft-ing myself. Maybe yes, it is still too young to surrender cause it’s only been a year. Maybe there’s still time or may be not. Maybe this is just another phase where I doubt every of my decision. One thing I realized that I’m not the kind of person who get to the place I want easily but eventually all the mistake I made at some point will lead me to better things. I hope so.

2013 wasn’t so bad after all. Even though most of the time what I did is telling myself to worry about only one step at a time (cause that’s a fine possibility that I get crazy now and then), good things like had my (poorly written) article posted on Thought Catalog, went to new places solo (in which so liberating), more mature family bonding and many many others happened. I also gained the ability to have meaningful crush on someone without really hoping. Yes, sometimes I wish he doesn’t have a girlfriend but screw, I’m content enough with our moments.

So far, 2014 started with flood everywhere in my city. I started with 4 days traveling solo to 3 amazing cities aaand… a little disagreement with a friend. You know, fact is most of the time people don’t think about what you think they’re thinking about you cause simply, who cares? Most of the time what you assume as what people think about you is only how YOU perceive who you are. Also most of the time people forget and not thinking about your problem cause simply they are also a human living their life and already got pile of shit to figure out. So stress out about what you assume as people opinions towards you is simply irrelevant and demand people to remember your problems cause you think that’s a thing people should do is just selfish. Don’t apologize for who you are as well as you don’t ask people to do that.

Anyway, I start to enjoy the changes happened and will happen in my life. People come and go. There will come times when people come to us on a rainy day and leave as happiness arise. That might be a little hurt when they declare that they don’t need us anymore. I don’t know why and how, but the only explanation, for me, is as Ram Dass put it best, “We’re all just walking each other home”. Maybe they found home already.

One last thing, this morning I figure out that I’m just going to equally hate people in my city who avoid to take public transportation just because they think it’s inconvenience (of course, this is a third world country, you guys) and choose to drive their cars (alone and not car pooling). You know what else inconvenience? It’s waking up early and stuck at 3 hours traffic and arrive late to the office every day. Ha.

Goodbye(s)

Hidup itu aneh. Waktu kecil, mungkin salah satu hal pertama yang diajarkan orangtua kepada saya adalah sopan-santun ketika menyapa, memperkenalkan diri, dan bagaimana berperilaku kepada orang yang baru dikenal. Walau saya sering merasa canggung, tapi sampai sekarang rasanya saya tidak pernah kesulitan untuk bergabung dalam lingkaran baru. Seiring waktu berjalan saya belajar bahwa hidup bukan sekedar berhalo-halo saja, setiap pertemuan pasti memiliki akhir. Tapi sepertinya tidak seorangpun pernah mengajari saya bagaimana menghadapi perpisahan.

Padahal, perpisahan lumrah dialami. Katanya malah, “There’s goodbye in every hello”. Entah itu berpisah dengan tamu yang datang ke rumah, dengan teman-teman ketika kelulusan sekolah atau ketika maut memisahkan kita *apeu*.

Saya ingat hampir di setiap kelulusan sekolah, hari berikutnya akan saya habiskan untuk cengeng dan menuliskan hal-hal menye dalam buku harian. Sekarang, semakin bertambah umur semakin terasa kalau memang benar-benar ngga ada hal yang akan sama selamanya. Masuk kantor baru, kenal dengan semuanya, dan beberapa bulan kemudian satu-persatu mereka resign terus diganti yang baru lalu berulang lagi.

Ketika nenek saya meninggal awal tahun ini, saya baru belajar bagaimana berpisah dengan orang yang selama ini selalu ada di sekeliling saya. Tiba-tiba saja beliau meninggalkan kami dan hidup terus berlanjut. Hari itu saya menangis, tapi saya berangkat bekerja lagi esoknya dan berkumpul bersama teman-teman saya di akhir minggu seperti tidak ada apa-apa. Di saat itu, jadi betul–betul berasa kalau bumi ini berputar dan waktu berjalan terus.

Apalagi yang paling sulit dari perpisahan adalah berpisah dengan kenangan yang tercipta dari pertemuan. Kalau boleh saya ibaratkan, ini seperti jangkar yang jatuh tertiup angin badai ke dasar laut. Tanpa sadar, sejauh apapun berjalan akan terus ada yang menarik kita untuk kembali. Sampai jangkar ini diikhlaskan untuk tenggelam.

Tidak ada yang pernah mengajarkan saya apa yang harus dikatakan saat perpisahan, bagaimana cara mengikhlaskan mereka yang pergi atau bagaimana menghadapi bercampurnya emosi ada ketika berpisah. Banyak hal-hal yang tak terjelaskan ketika perpisahan, apapun alasan perpisahan itu terjadi. Sampai pada akhirnya, saya mengerti bahwa perpisahan bukan lawan kata dari pertemuan, tapi hanya dua kejadian yang saling bertautan.

Orang lain bisa menghibur tetapi tidak ada yang bisa benar-benar menjabarkan. Kalau misalnya pun Wikipedia punya halaman khusus tentang ini, pasti ngga akan pernah tercermin sama pada setiap orang. Mungkin perpisahan memang benar-benar hal yang hanya dapat kita pelajari lewat pengalaman. Seperti kata seorang teman saya, “We’re forever a student of life” dan ini salah satu mata kuliahnya.

10+ Tipe Penumpang TransJakarta

Selama kurang lebih 4 tahun TransJakarta menjadi bagian dari hidup saya, sarana angkutan umum yang sering dimaki sekaligus cintai karena telah rela mengantar sampai ke kampus. 5 kali dalam seminggu (dan kadang bahkan seminggu penuh), pulang dan pergi, baik itu, pagi hari ketika kuliah subuh, malam hari sepulang kelas terakhir, atau siang dan sore hari di kala senggang walau jarang. Berikut merupakan hasil observasi saya terhadap pengguna TransJakarta di hari kerja, termasuk saya di dalamnya:

1. Si Tiba-tiba buang muka padahal ngga ada yang ngeliatin

Paling sering dilakukan oleh laki-laki DAN perempuan muda yang ngeliat orang tua, anak kecil, ibu hamil atau orang yang mau pingsan tapi ngga mau ngasih tempat duduknya. Biasanya sikap ini diikuti dengan pura-pura tertidur. Hehe. Menurut saya sih, APAPUN jenis kelamin kamu, kalau masih sehat, ada baiknya berikan tempat duduk pada orang yang lebih membutuhkan.

2. Si Phone abuser

Apalah arti manusia jaman sekarang tanpa ponselnya? Orang-orang ini kebanyakan manusia paruh baya, entah mahasiswa, entah apapun pekerjaannya. Biasanya pemakai ponsel pintar dan ini merupakan cerminan kehidupan masyarakat kota banget. Megangin pasangan aja kayaknya ga seerat megang ponsel itu. Tapi, mereka yang kaya gitu baru bisa dibilang biasa, yang luar biasa adalah mereka yang begitu masuk bus, langsung memutar dangdut full volume dari ponselnya tanpa headset. Unicorn.

3. Si Tukang dorong

Bukan, bukan dorong gerobak atau dorong galon air *menurut ngana?!*, tapi saling dorong mau masuk ke dalam bus. Emang mau ke mana sih? Ngga tau juga. Biasanya terjadi kalau antrian panjang dan penuh banget di waktu-waktu pergi/pulang kantor, atau bisa jadi setiap waktu. Mungkin karena mereka memang buru-buru banget ingin berjumpa sanak keluarga di rumah atau karena sudah gerah aja, yang jelas dorong-dorongan kaya gini bisa brutal banget. Saya sendiri pernah sampai jatoh dan sendal saya copot. Kan lumayan sandal saya harganya 15ribu. Hiks. Biasanya pelaku adalah manusia berbadan biasa dengan tas sebesar gaban, mereka yang ngga sabaran, dan rombongan kawula muda (mau nonton bola atau ke PRJ). Cara ampuh untuk melawan orang kaya gini adalah… sikut yang kenceng! 😀

4. Mbak-mbak misuh

Kenapa saya bilang mbak-mbak, karena memang mayoritas pelaku adalah kaum hawa. Sorry, sist. TransJakarta itu kan kendaraan umum, armadanya langka, dan harganya murah, maka wajar banget dong kalau yang naik bejibun. Tapi mbak ini malah ngedumel dan dia ngga mau kena orang lain, ngga mau berdiri dempetan, ngga mau geser kalau ada yang mau keluar, langsung pake anti-septic kalau ngga sengaja kesenggol. Ketauan banget kalau jadi pacar ngga pernah pengertian. Hih!

5. Sleeping beauty

SAYA, BU, SAYA! Pokoknya setelah dapet tempat duduk, langsung lelap tertidur, kadang-kadang ditambah ngga sengaja nyander ke orang di sebelahnya. Hihi. Maklum, orang-orang seperti kami kelelahan setelah mengerjakan tugas kuliah semalaman, membanting tulang, dan membela negara. :p

6. Sprinter

Time is money, baby, dan sudah terkenal ke seantero pengguna bahwa bus sering sekali datang terlambat. Jika dari jauh sudah keliatan dan ada kesempatan untuk lari, ya sebaiknya ini dilakukan. Saya pernah lari dari shelter Dukuh atas 1 ke 2 dan di tengah ada bapak-bapak yang tepuk tangan sambil kasih aba-aba, “Yak! Satu, dua, tiga! Satu, dua, tiga!” -_________-

7. Pemamah Biak

Semua orang butuh tantangan dalam hidupnya dan seringkali tanda ‘DILARANG MAKAN DAN MINUM DI DALAM BUS’ dianggap hiasan belaka. Walaupun sudah ditegur, tapi sepertinya tanggung nih bumbu somaynya belum habis. Sluurrp! Diam-diam masukkin tas lagi. Lagian, apalah artinya peraturan tanpa dilanggar, ya ngga?

8. Yang muda yang belajar

Perhatiin deh, ini bisa jadi pertanda musim ujian sekolah atau kuliah. Anak-anak ini akan duduk diam tanpa kata dan berhadapan dengan bukunya. Pernah sekali saya lihat yang baca Linguistic: English-Arab, pas banget abis baca bismikallahuma ahya waamut.

p.s: Kalau ketemu anak-anak ini mending langsung dikasih uang jajan deh.

9. Si TUKANG GREPE-GREPE

BAKAAAR!!!

10. Golongan: Antri? Apa itu?

Sebenarnya kalau kita telaah lebih lanjut, menggunakan TransJakarta bisa mengajarkan kita menjadi manusia yang lebih beradab. Slah satunya dengan mengembangkan budaya antri. Antri ketika mau beli tiket atau antri mau masuk dan keluar bus. Tapi masih ada banyak orang yang merasa bisa berlagak seperti mobil presiden di jalanan, maunya duluan. Main serobot antrian tiket, nabrak-nabrak ketika mau masuk shelter, dan main selonong saat masuk/keluar bus. Untuk orang seperti mereka, saran saya: teriakin maling.

10+. Sebut saja, Harapan Bagi Umat Manusia

Selama ada keburukan pasti ada kebaikan dan orang-orang ini adalah bukti nyata yang masih dapat kita llihat bersama. Bukan langka, hanya jarang. Lelaki dan perempuan yang jika melihat orangtua akan langsung berdiri dan kasih tempat duduk. Jika ada ibu hamil masuk akan langsung menggelar karpet merah dan memberikan kenyamanan. Lebih memilih berdiri sekalipun ketika bus kosong. Bahkan rela memangku anak-anak kecil yang bukan anaknya sendiri. Zuper! kalau kata Mario Teguh. *tepuk tangan*

Ngomong-ngomong, sejak lulus kuliah saya sudah jarang menggunakan Trans Jakarta dan rindu juga.

Taman Safari: the Zoo Experience

Image

Relax, like a hippo!

DSCF0142

Last March I went to the Zoo with daddy and sister. Going there as an adult gave you a very different perspective in seeing those animals. When I was a child I’d go run back and forth happily then just stare in awe at them. Now, I’m going with sympathy. They’re seemed not happy living in small area (mostly the cats), thin and poorly maintained. It’s a zoo in animal park model so you have to be in your car ride around watching them live their life. it’s weekend and there were so many cars which I’m sure bring pollution to the inhabitants and not enough trees to protect them from sun light and smoke from the cars. It’s just like circus covered in the name of preservation.

Or maybe I’m just too serious. Still, daddy, sister and I had a lot of fun. It’s been a long time we’re not have a trip together.

Borobudur 25/05/2013 dan Dongeng Toleransi Beragama

Beberapa hari belakangan, Twitter ramai dengan protes akan SBY yang baru saja menerima penghargaan mengenai toleransi beragama. Banyak dari mereka keras mencaci presiden serta mengomentari asam pendapat pesuruh presiden yang mendukung tuannya. Saya sendiri hanya bisa mengingat Borobudur, 25 Mei 2013.

Berawal dari menyaksikan Arisan! 2 beberapa bulan sebelumnya, saya tertarik untuk merasakan damai yang tokoh Memey rasakan pada upacara Waisak di Borobudur. Maka, 3 bulan sebelum hari H saya mempersiapkan semuanya sendirian. Sengaja tidak mengajak siapa-siapa, walau belakangan saya tahu bahwa banyak teman saya yang juga ikut serta.

Sabtu sore saya tiba Borobudur bersama banyak pengunjung lainnya. Beragam turis di sana, baik yang berkunjung dalam rangka studi wisata, jalan-jalan saja, ingin melihat perayaan Waisak, juga umat Budha yang beribadah. Saya yakin hari itu jumlah manusia yang datang berkali-kali lipat dari hari biasa.

Ketika arak-arakan patung Budha datang, saya turun dari atas candi menuju pelataran di depan, mengambil posisi agak tengah, dan duduk bersila mendengarkan doa. Sementara itu puluhan “fotografer” sibuk memenuhi depan panggung, menghalangi umat yang sedang berdoa dan berhenti memoto/berfoto setelah doa selesai.

Menginjak petang, pengunjung ramai mencari tempat duduk, pelataran mulai penuh, dan terlihat bahwa mayoritas yang datang bukan umat yang hendak beribadah. Saya hanya berpikir, ternyata daya tariknya sebesar ini. Acara di mulai agak terlambat, saat itulah awal dari ketidaknyamanan yang terjadi.

Gerimis turun dan banyak yang membuka payung, beberapa keberatan karena pandangan jadi terhalang. Ketika para biksu naik panggung dan doa pertama dibacakan, sekeliling saya bukan hanya ngobrol sendiri tapi ada yang membuat kompetisi bernyanyi dadakan. Ketika menteri agama dan gubernur Jateng masuk lalu memberi sambutan, pengunjung riuh bersorak yang saya tidak mengerti apa tujuannya. Hujan gerimis menjadi deras, acara bukan hanya tidak bisa dilihat tapi juga didengar. Saya pindah tempat pergi dari kerumunan ini, tapi di tempat yang baru tiba-tiba segerombolan orang di depan saya berdiri dan ketika diminta duduk, malah marah-marah. Ketika doa penutup dibacakan, pengujung menjadi liar dan naik ke atas panggung bahkan mengabaikan permintaan biksuni pemimpin doa untuk turun dan mereka juga menyulitkan para biksu yang berlalu lalang. Hujan deras tak berhenti, acara pelepasan lampion dibatalkan dan semua bersorak marah (dan dengar-dengar sih meminta uang yang harusnya jadi sumbangan untuk dikembalikan).

Jujur, saya jadi malu sendiri.

Melihat hal itni dan sehubungan dengan protes di Twitter mengenai penghargaan yang di terima SBY, saya merasa aneh. Pemerintah memang harus melindungi rakyatnya dan tegas dalam menyikapi banyak kasus kekerasan terhadap penganut agama minoritas di banyak daerah. Tapi, bagaimana dengan kita sendiri sebagai masyarakat? Apa iya kita juga sudah menegakkan keadilan dan membela saudara kita walau berbeda agama? Apa iya kita sendiri sudah punya tenggang rasa yang besar terhadap mereka yang Tuhannya berbeda? Apa iya kita sudah bisa saling menghormati tanpa prasangka? Saya sendiri berpikir tidak ada salahnya menghujat pemerintah karena memang mereka perlu itu, tapi lalu apa memang semuanya benar-benar hanya tanggung jawab pemerintah?

Mungkin memang harus ada satu orang pendongeng yang mencitrakan kebaikan untuk menutupi keboborokan dari jutaan orang lainnya. Dan mungkin memang perilaku pemimpin adalah cermin pribadi rakyatnya.