Weekend Alternative: Secuplik Sejarah di Utara Jakarta

Image

Tidak ada nyiur melambai atau pohon kelapa berderetan menyambut kedatangan saya dan ketiga teman saya di Muara Kamal, Jakarta Utara Sabtu pagi itu. Yang ada adalah bau amis dan kesibukan masyarakat menjajakan macam-macam hasil tangkapan laut di sepanjang jalan. Kami melangkah hati-hati di atas becekan air menuju tempat kapal-kapal berlabuh untuk menemui koordinator acara kami hari itu.

Perjalanan kami kali ini dalam rangka mencari cara lain untuk menghabiskan akhir pekan tanpa mal dan kebetulan salah seorang dari kami menemukan perjalanan ini di situs belanja online murah-murah. Dengan tema wisata sejarah. kami akan mengunjungi pulau Kelor, Cipir, dan Onrust. Lumayan, seharga sekali ngopi di mal, sudah bisa mengunjungi tiga pulau sekaligus.

Hari itu kali pertama saya mengunjungi Muara Kamal. Lepas dari jalan besar, kami langsung menuju jalan perumahan tempat penduduk berjualan hasil laut, dan di sekelilingnya terdapapt rumah-rumah padat sederhana, sebagian sudah dibangun mapan dan yang lainnya berdiri di atas air. Tak berapa jauh, kami menemukan mas Koordinator yang sedang mendata wisatawan lainnya.

Image

Persinggahan pertama kami adalah pulau Kelor. Diangkut dengan kapal nelayan kecil ke jarak 30 menit, sampailah pada daratan kecil tanpa penduduk lokal. Ya, seperti analogi daun kelor, pulau ini bisa dikelilingi mungkin tidak lebih dari 15 menit. Menurut sejarah, Kelor menjadi tempat pertama dari rangkaian pulau yang disinggahi Belanda sekitar abad ke-17 dan memiliki nama asli Kherkof. Kami bermain di sisa reruntuhan benteng Martello, menaranya sudah runtuh ke pinggir laut tetapi bangunan berbentuk lingkaran ini masih kokoh dikelilingi pepohonan. Jika diperhatikan, benteng ini dibangun dengan bata merah yang berbeda dengan bata yang kita pakai sekarang (nantinya di museum Onrust dijelaskan tentang perbedaan ini). Kelor sangat sederhana dan kosong, ombak yang mehampiri pun tidak besar, enak buat cipak-cipuk kecil. Hanya saja harus hati-hati kalau main di batu-batu besar depan menara karena berlumut dan licin.

Halaman selanjutnya adalah Pulau Cipir. Naik ke daratan, meriam berukuran sedang menyambut langsung di muka pulau. Wilayahnya lebih besar jika dibandingkan dengan Kelor. Cipir menyimpan sisa-sisa benteng VOC yang juga dipakai menjadi asrama keberangkatan haji sekitar tahun 1930-an. Terdapat sisa-sisa bangunan yang sebelumnya dipakai sebagai rumah sakit, rumah dokter, dan kamar mandi yang sekarang menjadi tempat tumbuh suburnya pepohonan. Di ujung pulau masih dapat dilihat reruntuhan jembatan yang dulu menyambungkan Cipir dengan pulau sebelahnya, Onrust. Sayangnya, seperti Kelor, Cipir tidak dilengkapi dengan sarana kebersihan yang memadai. Banyak sekali sampah berserakan di pinggir belakang pulau.

Image

Selang dua jam, kami berangkat menuju pulau Onrust, tempat terluas dibanding dua pulau sebelumnya. Bukti bahwa pulau ini memiliki peninggalan sejarah juga terlihat lebih mapan dengan adanya batu peresmian negara, situs serta museum. Museum menceritakan penjabaran masa lalu pulau sebagai pelabuhan bongkar muat di masa perang Belanda, peninggalan keramik Cina, dan sebagainya. Masih ada bangunan dengan dua ruangan yang dulunya dipakai sebagai penjara. Kita juga bisa melihat deretan pondasi bekas tempat tidur barak keberangkatan haji di 1930-an.

Selain peninggalan berupa bangunan, tercatat pula kesenjangan sosial yang terbangun antara Belanda dan pribumi. Saya mengambil kesan dari kompleks pemakaman khusus Belanda yang terlihat teratur, sedangkan makam masyarakat setempat berada di pinggir laut seadanya.

Mas Koordinator kami juga mengatakan bahwa selain menjadi tempat singgah Belanda, di Onrust terdapat makam yang dipercaya sebagai persemayaman pemimpin tertinggi DI/TII, Kartosuwiryo. Belum jelas kebenarannya sih, karena ada yang bilang jenazah beliau di buang ke laut. Saya sendiri melihat makam tersebut masih ada yang mengunjungi karena ada minuman gelas, tikar, dan bunga segar. Oh iya! Di makam salah seorang nyonya Belanda juga saya lihat ada bunga segar dan air mawar, jadi penasaran siapa yang ziarah.

Secara singkat, ketiga pulau kecil ini menjadi saksi awal jatuhnya Nusantara ke tangan Belanda, juga menjadi tempat pengokohan kaki VOC di Jayakarta. Payah, seperti situs bersejarah lainnya, Kelor, Cipir, dan Onrust masih jauh dari perawatan dan perhatian Pemda.

Menyenangkan sekali dapat solusi lain buat main sekaligus dapat ilmu, plus murah juga. Selamat mencoba!

Advertisement

Taman Safari: the Zoo Experience

Image

Relax, like a hippo!

DSCF0142

Last March I went to the Zoo with daddy and sister. Going there as an adult gave you a very different perspective in seeing those animals. When I was a child I’d go run back and forth happily then just stare in awe at them. Now, I’m going with sympathy. They’re seemed not happy living in small area (mostly the cats), thin and poorly maintained. It’s a zoo in animal park model so you have to be in your car ride around watching them live their life. it’s weekend and there were so many cars which I’m sure bring pollution to the inhabitants and not enough trees to protect them from sun light and smoke from the cars. It’s just like circus covered in the name of preservation.

Or maybe I’m just too serious. Still, daddy, sister and I had a lot of fun. It’s been a long time we’re not have a trip together.

Borobudur 25/05/2013 dan Dongeng Toleransi Beragama

Beberapa hari belakangan, Twitter ramai dengan protes akan SBY yang baru saja menerima penghargaan mengenai toleransi beragama. Banyak dari mereka keras mencaci presiden serta mengomentari asam pendapat pesuruh presiden yang mendukung tuannya. Saya sendiri hanya bisa mengingat Borobudur, 25 Mei 2013.

Berawal dari menyaksikan Arisan! 2 beberapa bulan sebelumnya, saya tertarik untuk merasakan damai yang tokoh Memey rasakan pada upacara Waisak di Borobudur. Maka, 3 bulan sebelum hari H saya mempersiapkan semuanya sendirian. Sengaja tidak mengajak siapa-siapa, walau belakangan saya tahu bahwa banyak teman saya yang juga ikut serta.

Sabtu sore saya tiba Borobudur bersama banyak pengunjung lainnya. Beragam turis di sana, baik yang berkunjung dalam rangka studi wisata, jalan-jalan saja, ingin melihat perayaan Waisak, juga umat Budha yang beribadah. Saya yakin hari itu jumlah manusia yang datang berkali-kali lipat dari hari biasa.

Ketika arak-arakan patung Budha datang, saya turun dari atas candi menuju pelataran di depan, mengambil posisi agak tengah, dan duduk bersila mendengarkan doa. Sementara itu puluhan “fotografer” sibuk memenuhi depan panggung, menghalangi umat yang sedang berdoa dan berhenti memoto/berfoto setelah doa selesai.

Menginjak petang, pengunjung ramai mencari tempat duduk, pelataran mulai penuh, dan terlihat bahwa mayoritas yang datang bukan umat yang hendak beribadah. Saya hanya berpikir, ternyata daya tariknya sebesar ini. Acara di mulai agak terlambat, saat itulah awal dari ketidaknyamanan yang terjadi.

Gerimis turun dan banyak yang membuka payung, beberapa keberatan karena pandangan jadi terhalang. Ketika para biksu naik panggung dan doa pertama dibacakan, sekeliling saya bukan hanya ngobrol sendiri tapi ada yang membuat kompetisi bernyanyi dadakan. Ketika menteri agama dan gubernur Jateng masuk lalu memberi sambutan, pengunjung riuh bersorak yang saya tidak mengerti apa tujuannya. Hujan gerimis menjadi deras, acara bukan hanya tidak bisa dilihat tapi juga didengar. Saya pindah tempat pergi dari kerumunan ini, tapi di tempat yang baru tiba-tiba segerombolan orang di depan saya berdiri dan ketika diminta duduk, malah marah-marah. Ketika doa penutup dibacakan, pengujung menjadi liar dan naik ke atas panggung bahkan mengabaikan permintaan biksuni pemimpin doa untuk turun dan mereka juga menyulitkan para biksu yang berlalu lalang. Hujan deras tak berhenti, acara pelepasan lampion dibatalkan dan semua bersorak marah (dan dengar-dengar sih meminta uang yang harusnya jadi sumbangan untuk dikembalikan).

Jujur, saya jadi malu sendiri.

Melihat hal itni dan sehubungan dengan protes di Twitter mengenai penghargaan yang di terima SBY, saya merasa aneh. Pemerintah memang harus melindungi rakyatnya dan tegas dalam menyikapi banyak kasus kekerasan terhadap penganut agama minoritas di banyak daerah. Tapi, bagaimana dengan kita sendiri sebagai masyarakat? Apa iya kita juga sudah menegakkan keadilan dan membela saudara kita walau berbeda agama? Apa iya kita sendiri sudah punya tenggang rasa yang besar terhadap mereka yang Tuhannya berbeda? Apa iya kita sudah bisa saling menghormati tanpa prasangka? Saya sendiri berpikir tidak ada salahnya menghujat pemerintah karena memang mereka perlu itu, tapi lalu apa memang semuanya benar-benar hanya tanggung jawab pemerintah?

Mungkin memang harus ada satu orang pendongeng yang mencitrakan kebaikan untuk menutupi keboborokan dari jutaan orang lainnya. Dan mungkin memang perilaku pemimpin adalah cermin pribadi rakyatnya.

Image

Image

Ketika kita berpikir untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri dan bahwa hidup hanya untuk hari ini saja, berhentilah sejenak.

Masih adakah masa depan untuk mereka?

foto 1: Pasar Kreo, Tangerang 2010

foto 2: Candi Ratu Boko, Yogyakarta 2012

A Short Trip: Wonosari – Jogja.

No one needs a holiday better than a fed up fresh graduate. Lol.

That’s why couple weeks ago my friends and I escaped the city and went backpacking. Eight of us, 3 days, moneyless, no itinerary and a strong will to have fun.

Wednesday evening 5/09/2012, we went from St. Senen, Jakarta with economy class train for only IDK 35.000. At first I was a little worried for this train because people said it will be really crowded, dirty and else. In fact, yes, it’s crowded with food sellers, no air conditioner and quite hot when the train stop but it’s also pretty clean and comfortable. I don’t know maybe that’s why you should go travel with your friend, so you have people around you to keep the good vibe.
At 7 in the morning we arrived at St. Lempuyangan, Jogjakarta. We were wondering around like a half hour planned to buy our return tickets since we hadn’t got it yet. Finally we got it and it was actually a disappointment, it’s so expensive for an AC economy class, named Bogowonto, and our budget (IDR160.000). Well, the trip must go on, right? After that we walked to Malioboro and had our breakfast. It’s a street food vendor with cheap foods.

Had enough breakfast we continued our journey with Transjogja to Giwangan bus station where we can find a Kopata to Wonosari. Wonosari is 40 km from Jogja and if you want to go to beaches around Mt. Kidul, you have to take public transportation for there. My friends and I chose to go to Baron beach first. So, we took bus from Wonosari to Baron. The thing is, you will rarely find public transportation, there might be one every one and two hours. Not like Giwangan, Wonosari has no bus station, the bus will only stop at the crossroad where you should wait for the next bus. A friend of mine in Jogja said that it’s best to rent a car, but well, we have no budget for that and trust me, choose public transportation help a lot to save. Luckily, the time we arrived there’s the bus waiting.
It needed one hour to reach Baron. But worry not, you’re gonna enjoy the view there. No skyscrapers, pollution, though it’s still dry season here and trees and paddy field are sere, they still made a perfect combination with the blue sky.
Arrived at Baron, we chose to stay at a small hotel which only cost IDR 100.000/room consist of 4 people. Cheap, eh? Plus the hotel was the nearest one to the beach. Too bad I forget its name.
If I should describe Baron beach, it’s gonna be creepily beautiful. The beach is surrounded by hill and there’s a basin on the right with big corals with calm water. The waves so high could eat you up. When the day got dark, the hill and wave left you a feeling like there’s something mysterious there.

Tomorrow morning, we left Baron for Sundak and Krakal, only 7km from Baron. Yeah, beaches too. I love beach. I miss them. We rent a bus, made a deal with the driver to take us there and back to Wonosari. Sundak and Krakal are pretty much alike. There’s coral overlay covered with weed after the sands before the sea. Breathtakingly beautiful. You can see little fish, crabs and snails. Just watch out for the sea urchin, also the sands between corals sucked your feet. And although the sun hit us, we could felt the breeze wind. Oh, I love Sundak.
Good thing about those beaches are you can find solitude. Unlike beaches in Bali which filled with naked tourists. When it’s time to go, I left piece of my heart there. Hoping someday I can explore all the beaches around Mt. Kidul.

After that we headed back to Jogja. One thing that captivated me in our way was the limestone hills. I’ve been curious with limestone hill since I read Bilangan Fu, a book written by Ayu Utami. It stands there surrounded by modern civilization silently pulling out its ancient aura.

When we reached Jogja, we stayed in an inn at Sosrowijayan st. close to St. Tugu and the place for so many cheap hotels and inns. You can say Jogja is a big city but it’s totally different with Jakarta. The culture’s bonded with the life of its neighborhood and community. I always feel like coming home. Especially you can’t find traffic jam there. When we arrived it’s already noon and we decided to just fooling around Malioboro, enjoyed street singers, merchants and Wedang Ronde. If you wonder what’s Wedang Ronde, it’s a hot ginger consist of nuts, jelly and Ronde, a food made of rice flours, brown sugar and filled with nut inside. Warm and fresh! We had our dinner in Angkringan and had a street singer to sing with us. Oh! Jogja street singer also different with Jakarta, they’re creative and got a good voice, some of them just play traditional instrument which was great! Then at midnight we went to Alun-alun, a big field where people gather. I and the girls tried to pass two giant trees there. Myth has it if you succeed to pass them means you have a pure heart. Even though we don’t really believe any kind of myth, it was fun. And at that night, no one succeed. Lol!

The next day we went temple hooping to Prambanan and Ratu Boko. According to local legend, Prambanan was a temple built for a woman name Rara Jongrang as a requisition for Bandung Bondowoso, a strong prince at that time, to marry here. Prambanan in the pas time consist of 1000 temple. No kidding. Now, we still can see the main temple where sculptures of gods placed. Ah! Don’t forget to take a look deeper at the carving in its wall; there’s story you can enjoy there. Also, pay attention to the design of the temple, bigger and smaller one. Meanwhile, Ratu Boko was Bandung’s kingdom. It’s a spacious place and perfect spot for a kingdom. It’s built high in the hills and when you look down you can literally see everything. Though what’s left from Ratu Boko mostly debris and just a few parts that’s still have its structure, it’s still amazing. I walked round the complex consist of Main Gate, Candi Batu Putih, Candi Pembakaran, Paseban, Pendopo, Miniature Temples, Kaputren and Bathing Place and Ascetic Cave –yes, the place is that wide- thought about people who lived there centuries ago, hating the fact that I live in this era.

Spent a half day for temples and went back to inn at noon. After that we just wondered around Malioboro searched some good to buy. At night, me and the girls, again, were hang out, sat in front of BNI 46 watched Jogja’s Sunday night going.

Next morning, we went home.
Thank to K, L, C, T, A, AK, and GT for this holiday! I had a great time! ❤

p.s: if you really like beaches, you should explore beaches around Mt. Kidul.

Detail expenses:
Transjogja IDR 3.000
Kopata Jogja – Wonosari (vice versa) IDR .6000
Wonosari – Baron IDR 10.000
Rent a Kopata Baron – Sundak – Wonosari IDR 150.000
Prambanan + Ratu Boko IDR 45.000